
Penyesuaian Pinjaman Daerah untuk Menjaga Kesehatan APBD Kota Surabaya
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya sepakat melakukan penyesuaian terhadap kredit pembangunan yang awalnya sebesar Rp2,9 triliun menjadi Rp1,5 triliun. Tujuan dari pengurangan ini adalah untuk menjaga postur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2026 agar tetap sehat dan berkelanjutan.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Bahtiyar Rifai, menyatakan bahwa menjaga kesehatan APBD menjadi komitmen bersama antara Pemkot dan DPRD. Ia menegaskan bahwa pengajuan kredit ke lembaga jasa keuangan dilakukan sebagai upaya mengatasi masalah defisit fiskal akibat efisiensi transfer keuangan ke daerah (TKD). "Ini bukan hanya sekadar langkah teknis, melainkan keputusan politik yang mencerminkan arah kebijakan pembangunan kota," ujarnya.
Awalnya, besaran kredit pembangunan yang diajukan adalah Rp2,9 triliun. Namun setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kapasitas keuangan daerah dan rekomendasi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, nilai pinjaman tersebut dikoreksi menjadi Rp1,5 triliun. Penyesuaian ini dilakukan dalam rangka menjaga keseimbangan fiskal kota.
Beberapa proyek infrastruktur strategis yang awalnya direncanakan harus ditunda, seperti Jalan Dharma Husada dan Jembatan Kalimakmur. Namun, DPRD dan Pemkot berkomitmen untuk memperjuangkan agar proyek-proyek tersebut dapat diajukan kembali pada tahun 2027.
Meskipun jumlah pinjaman berkurang, alokasi dana sebesar Rp1,5 triliun tetap diarahkan pada proyek prioritas yang dinilai mendesak. Infrastruktur yang menjadi fokus antara lain pembangunan Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB), pelebaran Jalan Wiyung, pembangunan Diversi Gunung Sari, serta penambahan lampu penerangan jalan umum. Selain itu, program pengendalian banjir dan penanganan genangan masih menjadi agenda krusial karena Surabaya sering menghadapi tantangan tersebut di musim hujan.
Dari sisi sumber pembiayaan, Pemkot merancang skema melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dengan total Rp1,145 triliun, serta tambahan Rp417 miliar melalui Bank Jatim. Pemilihan dua lembaga keuangan ini dinilai lebih realistis dan sesuai dengan kapasitas fiskal daerah.
DPRD tetap mengingatkan agar Pemkot berhati-hati dalam menyusun strategi pembayaran utang. Bahtiyar Rifai menegaskan bahwa utang daerah harus dikelola dengan perhitungan matang agar tidak mengganggu program pelayanan publik dasar. "Kami tidak ingin cicilan pinjaman justru membebani masyarakat dengan mengorbankan sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan," tegasnya.
Agenda pembahasan pinjaman akan berlanjut dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya yang dijadwalkan pada 25 dan 29 September 2025. Rapat tersebut akan menjadi forum penting untuk menguji secara detail rencana skema pinjaman, mulai dari besaran bunga, tenor cicilan, hingga strategi pelunasan.
DPRD menilai transparansi dalam menyampaikan konsekuensi fiskal sangat penting agar masyarakat dapat memahami risiko sekaligus manfaat yang akan diperoleh dari kebijakan ini. "Banggar akan menjadi forum krusial untuk memastikan semua aspek diperhitungkan, sehingga pinjaman tidak hanya sekadar menambah utang, melainkan benar-benar memberi dampak pembangunan yang signifikan," jelas Bahtiyar.
Dalam pandangan DPRD, kunci keberhasilan pengelolaan pinjaman terletak pada keseriusan Pemkot dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bahtiyar menilai masih ada dua sektor yang belum digarap maksimal, yakni pemanfaatan aset daerah dan optimalisasi pajak parkir. Ia mencontohkan, aset daerah yang belum dimanfaatkan optimal dapat disewakan atau dijadikan bagian dari skema kerja sama dengan pihak ketiga untuk menghasilkan pendapatan tambahan.
Dengan begitu, DPRD berharap pembangunan kota dapat berjalan seimbang: ambisi infrastruktur tetap terwujud, layanan publik tetap terlindungi, dan keberlanjutan fiskal daerah tetap terjaga.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!