
Inspirasi dari Senam Perkasa Indonesia
Pagi yang cerah di Kiara Artha Park, Kota Bandung, pada hari Sabtu tanggal 20 September 2025, penuh dengan kegembiraan. Musik senam mengalun, dan ratusan peserta bergerak lincah mengikuti instruktur. Di tengah keramaian itu, seseorang yang tampak bersahaja dengan senyum ramah naik ke panggung untuk menerima piala. Itulah Nanan Syaifuddin, yang akrab dipanggil Pak Nanan—seorang instruktur senam yang baru saja dinobatkan sebagai Instruktur Senam Perkasa Indonesia (SPI) tertua dalam acara Gebyar Senam Massal SPI.
Lahir di Bandung pada 25 Mei 1946, Pak Nanan kini berusia 79 tahun. Bersama istri tercinta, Nani Hartini (73), ia menikmati kehidupan sederhana sebagai kakek dari seorang cucu laki-laki yang berusia 15 tahun. Meski tidak lagi bekerja dan bukan pensiunan dari lembaga mana pun, aktivitasnya di rumah tidak pernah mengurangi semangat untuk tetap bergerak.
Perjalanan Pak Nanan dengan SPI dimulai dari kondisi kesehatan yang buruk. Pada tahun 2011, ia sering sakit-sakitan: asma keturunan, sinusitis selama 14 tahun, dan asam urat tinggi hingga lutut bengkak dan sempat dijadwalkan operasi. Saat menjalani terapi Ceragem di MIM, ia melihat kegiatan senam unik yang berbasis gerakan sholat dengan terapi getar syaraf, yang dikenal sebagai Senam Perkasa Indonesia. “Saya tertarik dan bergabung. Setelah rutin ikut SPI, kesehatan saya mulai membaik. Bahkan, operasi lutut akhirnya batal karena kondisi saya pulih total,” kenangnya.
Di bawah bimbingan para senior seperti Pak Levi, Pak Boy (alm), Mas Boy, Apih Wawan, dan Mbah Isran (alm), Pak Nanan mulai mengasah kemampuan. Ia bergabung dengan komunitas SPI MIM yang saat itu dipimpin Bapak Dana (alm). Dari situ, ia belajar menjadi instruktur. Ia menekankan pentingnya gerakan yang benar agar manfaat senam dapat dirasakan oleh anggota.
Tidak berhenti di satu tempat, Pak Nanan memperluas langkah. Ia membangun komunitas SPI di Lottemart, Komplek Batu Raden, hingga GBI. Komunitas SPI GBI bahkan menjadi salah satu kelompok yang masih bertahan hingga kini. Ketekunannya membimbing membuatnya dihormati oleh anggota dan sesama instruktur.
Bagi Pak Nanan, SPI bukan sekadar senam. Ia menyebutnya sebagai anugerah yang menjaga kesehatan fisik dan batin. “Walaupun usia saya sudah lanjut, saya tetap semangat mengajar. Selama masih kuat, saya ingin berbagi ke orang lain. Bagi saya pribadi, senam ini sangat bermanfaat,” ungkapnya.
Perjalanan panjang itu tak selalu mulus. Masih ada saja yang memandang remeh SPI. Namun, Pak Nanan memilih untuk bersabar. Ia percaya bahwa kesungguhan akan menunjukkan hasil. Kepada generasi muda, ia berpesan untuk terus membimbing dengan sabar. “Bimbing dengan baik dan benar, penuh kesabaran, agar komunitas dapat merasakan hasilnya,” ujarnya.
Penghargaan yang ia terima bukan sekadar simbol prestasi, tetapi bukti dedikasi dan semangat pantang menyerah. Di tengah keceriaan Gebyar Senam Massal SPI, kisah Pak Nanan menjadi pengingat bahwa usia hanyalah angka, dan semangat berbagi kebaikan tak pernah mengenal batas waktu.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!