
Masalah Malaria di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) masih menghadapi tantangan dalam penanganan penyakit malaria. Kepala Dinas Kesehatan TTS, dr. RA Karolina Tahun, menyatakan bahwa malaria tetap menjadi masalah kesehatan yang memerlukan perhatian serius. Berdasarkan data dari dinas kesehatan setempat, terdapat fluktuasi jumlah kasus malaria dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2021, jumlah kasus malaria tercatat sebanyak 50 kasus. Angka ini meningkat secara signifikan pada tahun 2022 menjadi 696 kasus. Meski turun sedikit pada tahun 2023 dengan total 521 kasus, angka tersebut kembali meningkat pada tahun 2024 menjadi 154 kasus. Pada Agustus 2025, jumlah kasus malaria di TTS telah mencapai 207 kasus.
Beberapa kecamatan menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi. Kecamatan Kualin menjadi penyumbang utama kasus malaria dengan 254 kasus dan indeks API sebesar 11,94 per seribu penduduk. Diikuti oleh Kecamatan Nunkolo dan Boking. Pada tahun 2024, Kecamatan Nunkolo menjadi wilayah dengan kasus terbanyak yaitu 84 kasus, disusul oleh Kecamatan Boking.
Kelompok Rentan dan Upaya Penanggulangan
Menurut dr. Karolina, kelompok rentan terhadap malaria meliputi ibu hamil, bayi balita, pelaku perjalanan dari daerah endemis, serta penduduk di wilayah endemis. Berdasarkan data tahun 2025, Kecamatan Nunkolo menjadi wilayah endemis malaria yang paling tinggi saat ini.
Untuk menekan angka kasus, Dinas Kesehatan TTS telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah pemeriksaan darah malaria dengan target ABER 30 persen. Selain itu, pengobatan standar dilakukan dengan pemantauan langsung oleh tenaga kesehatan selama proses pengobatan. Pengendalian lingkungan juga dilakukan melalui survei reseptif, larva siding, dan penggunaan kelambu.
Selain itu, Dinkes TTS juga melakukan sosialisasi GLAN Malaria (Gerakan menggunakan Lotion Anti Nyamuk Malaria). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mencegah gigitan nyamuk.
Kendala yang Menghambat Penanganan Malaria
Meski berbagai upaya telah dilakukan, kendala yang dihadapi cukup banyak. Iklim dan curah hujan tinggi menjadi faktor utama dalam pertumbuhan nyamuk. Lingkungan tropis dan genangan air yang terjadi sepanjang tahun membuat nyamuk memiliki habitat ideal untuk berkembang biak.
Perubahan perilaku nyamuk Anopheles juga menjadi tantangan. Nyamuk ini tidak hanya menggigit di malam hari, tetapi juga di pagi dan siang hari. Selain itu, migrasi penduduk dari daerah endemis dapat meningkatkan risiko penularan malaria.
Kemiskinan ekstrem juga berpengaruh terhadap penanganan malaria. Banyak masyarakat belum menggunakan kelambu berinsektisida atau sudah menggunakan tetapi lebih dari dua tahun. Di desa-desa terpencil yang memiliki tingkat malaria tertinggi, akses ke fasilitas kesehatan (faskes) sangat sulit.
Kendala dari Fasilitas Kesehatan dan Sumber Daya
Dari sisi fasilitas kesehatan, logistik seperti BMHP slide malaria dan reagen untuk pewarnaan masih terbatas. Selain itu, belum semua tenaga kesehatan memiliki kompetensi dalam pengambilan, pewarnaan, dan pembacaan sediaan darah malaria.
Kendala-kendala ini menjadi tantangan bagi Dinas Kesehatan TTS dalam upaya mencapai nol kasus malaria. Dr. Karolina menyatakan bahwa upaya akan terus dilakukan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Tujuan akhirnya adalah proklamasi eliminasi malaria di TTS pada tahun 2027.
Kolaborasi untuk Mencapai Target
Dr. Karolina menekankan pentingnya kolaborasi antara tenaga kesehatan, pemerintah, dan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian malaria. Jika semua pihak bekerja sama, maka target nol kasus malaria bisa dicapai. Dengan demikian, tidak lagi ada kasus malaria atau kematian akibat penyakit ini.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!