
Mengenal Fenomena Duck Syndrome di Kalangan Mahasiswa
Di tengah lingkungan kampus yang penuh dengan tuntutan prestasi, banyak mahasiswa mengalami kondisi yang dikenal sebagai duck syndrome. Fenomena ini terjadi ketika seseorang tampak tenang dan stabil di luar, namun di dalamnya sedang berjuang keras secara mental dan emosional. Kondisi ini tidak hanya terkait beban akademik, tetapi juga tekanan untuk selalu produktif, aktif dalam organisasi, magang, lomba, hingga menjaga citra di media sosial.
Banyak mahasiswa memilih menyembunyikan kelelahan emosional mereka di balik senyum dan capaian yang terlihat sempurna. Padahal, di balik itu, mereka justru merasa kewalahan dan tidak tahu cara menghadapinya. Hal ini bisa memicu stres berat karena takut dianggap lemah jika menunjukkan bahwa mereka sedang kesulitan.
Penjelasan tentang Duck Syndrome
Duck syndrome sering digambarkan seperti bebek yang terlihat tenang di permukaan air, namun kaki mereka mengayuh dengan cepat agar tetap mengapung. Psikolog FEB UGM, Anisa Yuliandri, menjelaskan bahwa mahasiswa cenderung ingin tampil serba bisa, kuat, dan produktif. Namun, di balik semua itu, banyak dari mereka merasa lelah dan kewalahan tanpa tahu cara mengatasinya.
Selain itu, Alodokter juga menyoroti bahwa duck syndrome terjadi ketika seseorang berusaha menutupi keterpurukan emosinya agar tetap terlihat baik-baik saja di hadapan orang lain. Kondisi ini bisa membuat penderitanya stres berat karena takut dianggap lemah jika menampilkan kelemahan mereka.
Tanda-Tanda dan Dampak Negatif
Mahasiswa yang terkena duck syndrome sering menunjukkan tanda-tanda seperti rendahnya self-esteem dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain. Kondisi ini diperparah karena mereka takut dinilai gagal, sehingga memendam kesulitan yang sebenarnya sangat membutuhkan perhatian dan bantuan.
Jika dibiarkan, duck syndrome bisa memicu gejala psikologis yang lebih serius seperti kecemasan berlebihan, burnout, hingga depresi. Media sosial turut memperkuat self-esteem yang rentan ini karena mahasiswa sering melihat unggahan teman-teman mereka yang "selalu tampak bahagia dan sukses." Fokus pada pencapaian eksternal membuat mereka merasa tertinggal dan harus terus mengejar standar yang tidak realistis.
Akibatnya, banyak mahasiswa mulai menarik diri secara sosial karena merasa tidak cukup "baik" atau kuat jika harus terbuka tentang perjuangannya. Padahal, yang mereka butuhkan justru ruang untuk didengar dan diterima apa adanya.
Cara Mengatasi Duck Syndrome
Untuk mengatasi kondisi ini, langkah penting adalah jujur pada diri sendiri bahwa merasa lelah bukanlah kelemahan, melainkan sinyal untuk memberi perhatian lebih pada kesehatan mental. Menurut FEB UGM, "It's okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia."
Selain itu, mahasiswa didorong untuk mengelola ekspektasinya sendiri, daripada terpaku pada apa yang dianggap harus dicapai orang lain. Belajar berkata "tidak" tanpa rasa bersalah adalah bentuk perlawanan sehat terhadap tekanan sosial.
Mencari teman bicara, seperti konselor, sahabat, atau layanan pendamping bisa sangat membantu meringankan beban. Komunitas juga bisa menjadi tempat aman untuk berbagi, tanpa takut dihakimi. Dukungan seperti ini menumbuhkan perasaan bahwa kita tidak sendiri, bahwa banyak orang juga merasa lelah namun berani tetap bertahan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!